LDM

sejak beberapa lama sebelum memutuskan untuk memulai bisnisnya di luar kota, si bapak udah bertanya dan berdiskusi berulang ulang tentang kesiapan saya untuk memulai dan menjalani kehidupan terpisah selama weekdays dan cuma bisa ketemu selama weekends. istilah kekiniannya LDM – long distance marriage. apakah saya akan sanggup; apakah saya akan berani menjalaninya; apakah saya memiliki keraguan ?

dan setiap kali kami membahas tentang hal itu, saya dengan jumawanya bilang saya sanggup dan insha allah tidak akan ada masalah. jadi bapak gak usah khawatir. just go ahead. i can handle everything here. we both will be fine. nothing to worry about. toh berpisahnya bukan yang berbulan bulan atau bertahun tahun, cuma 5 hari dalam seminggu.

itulah jawaban sombong saya ke si bapak.

tapi ternyata….

setelah mulai menjalaninya, setiap pagi dan sore – saat saat dimana kami bertiga biasanya ada bersama menjalani huru hara pagi dan santai sore – hati saya kosong 😦

ada yang hilang, ada yang tidak familiar, hiks πŸ˜₯

saya tahu dan berharap semua rasa ini hanya diawal saja. saya sedang dalam proses adaptasi. nanti lama kelamaan rasa rasa yang menyesakkan dada ini akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu. seiring dengan terbiasanya saya menjalani kehidupan ‘baru’ ini.Β not having him during the weekdays is not the end of the world though….

saya harusnya gak boleh sedih ya karena hal itu justru bisa mempengaruhi si manusia kecil melankolis disamping saya yang akan membuat dia juga ikutan sedih atau bingung jadinya. udahlah bapaknya dalam keseharian gak ada, eh, emaknya nangis melulu lagi.

ok mak, be tough…. insha allah everything will be ok.

la tahzan innallaha ma’ana…………

11 thoughts on “LDM

  1. Sedih ya kalo harus pisah sama orang yang biasanya kumpul sama kita tiap hari. Saya juga gitu mba, tapi sama ortu πŸ˜€ . Rasanya weekdays itu lamaaaa banget.

Leave a reply to bayutrie Cancel reply